Elephant

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Gus Van Sant
Pemain: Alex Frost, Eric Deulen, John Robinson, Timothy Bottoms, Matt Malloy, Elias McConnell, Nathan Tyson, Carrie Finklea, Kristen Hicks, Brittany Mountain, Jordan Taylor, Nicole George, Alicia Miles, Bennie Dixon

Tahun Rilis: 2003

Elephant adalah sebuah film yang patut dipuji karena keberaniannya, apalagi mengingat film ini diproduksi oleh Hollywood. Pujian tersebut terutama ditujukan pada keberanian Gus Van Sant menyuguhkan tontonan non-naratif, non-linear, dan tidak biasa. Gus Van Sant mengemas Elephant dengan adegan-adegan stylish yang tidak wajar, slow-paced, multiple pointview, dan yang paling patut disoroti adalah long take yang sangat berani sekaligus berisiko. Kenapa berani? Dari segi komersial, berani karena penyuguhan Elephant yang tidak biasa ini bisa saja berakibat kejenuhan bagi tipe penonton mainstream yang tidak sabaran. Dari segi sinematik dan artistik, berani karena menyughkan sebuah tema yang rentan dengan cara yang rentan pula.

Elephant adalah salah satu film yang menyajikan sebuah cerita fiksi yang didasarkan pada tragedi pembantaian Columbine High School di tahun 1999, yang dilakukan oleh dua orang siswa: Eric Harris dan Dylan Klebold. Aksi keduanya menewaskan 12 siswa, 1 guru, dan diakhiri dengan aksi bunuh diri masing-masing. Elephant menggambarkan tragedi pembunuhan tersebut dengan cara yang stylish dan cenderung artistik. Film ini mengikuti kegiatan beberapa siswa di sekolah pada hari-H pembunuhan: seorang siswa yang punya masalah dengan ayahnya yang alkoholik, seorang siswa dengan hobi fotografi, seorang atlit dan pacarnya, seorang siswi nerdy, seorang siswi anggota Gay-Straight Alliance, tiga gossip girl, seorang siswa kulit hitam, dan dua siswa pelaku pembantaian tersebut.

Dengan cara yang aneh dan jauh dari sentuhan diktat mainstream Hollywood, kamera Gus Van Sant membuntuti kegiatan beberapa siswa tersebut. Nyaris setengah durasi awal dihabiskan untuk adegan-adegan long take tentang siswa tersebut secara bergantian: berjalan di koridor sekolah, ngobrol satu sama lain, kantin, berganti seragam, dan lain-lain. Pada dasarnya adegan-adegan tersebut tidak terlalu berhubungan dengan inti utama Elephant. Dan sebagian penonton mungkin bakal merasa adegan-adegan tersebut bodoh dan mubazir. Tapi sebenarnya, saya menangkap, adegan-adegan long take ini sebenarnya ditujukan untuk memanipulasi kesadaran dan persepsi penonton. Dengan cara yang aneh juga, long take ini, entah bagaimana, seakan-akan juga ditujukan untuk memanipulasi timeline dalam cerita.

Dari segi dialog, Elephant bisa disebut film minim dialog. Ada sebuah gagasan bahwa dialog verbal di dalam sebuah film umumnya ditujukan untuk menghibur penontonnya. Maka minimnya dialog dalam Elephant memang bukan ditujukan untuk menghibur penontonnya, tapi ditujukan untuk memberikan sebuah gambaran lifelike. Dan ketika dialog muncul dalam Elephant, ketimbang dialog verbal, dialog tersebut lebih berupa persepsi tidak langsung dari pengucapnya. Dengan cara ini, Gus Van Sant mencoba menginformasikan realita di dalam tokohnya melalui sisi artistik (sinematografi, gaya minimalis, dan kerja kamera yang artistik), ketimbang tokoh tersebut menginformasikan langsung secara verbal.

http://3.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/TOqL8EXOA5I/AAAAAAAABmY/imsPysavqCY/s1600/Kinema.jpg

Ketika sudah dihdapkan pada kasus pembantaiannya, Gus Van Sant lagi-lagi menantang persepsi penontonnya. Dalam salah satu wawancara, Gus Van Sant bahkan membebaskan penontonnya untuk menerjemahkan Elephant sesuai persepsi masing-masing. Mulanya, tepat ketika usai menonton film ini, yang saya tangkap dari Elephant adalah sebuah film yang menghadirkan nuansa realisme hari ketika pembantaian berlangsung. Adegan-adegan long take dari berbagai sudut pandang itu mulanya saya artikan sebagai media pembangunan mood dan pameran sisi artistik. Berhasil memang. Sederhana seperti itu. Tapi saya merasa tidak puas dengan penerjemahaan saya. Terlebih karena gaya artistik Gus Van Sant yang sangat sublime dan pertanyaan tentang kenapa Gus Van Sant lebih memofokuskan filmnya pada akibat ketimbang sebab.” Kedua poin itu memancing rasa penasaran lebih jauh tentang makna filmnya. Saya rasa pasti ada makna lain yang lebih dalam yang bisa dipetik dari Elephant, sampai-sampai film ini pantas memenangkan Palme d'Or di Festival Film Cannes.

Lantas saya bertanya pada Google tentang makna judul film ini, membaca esai Susan Klebold tentang pembantaian yang dilakukan putranya, membaca kisah seputar pembantaian Columbine High School di tahun 1999, dan tentunya sedikit menghubung-hubungkan dengan pengetahuan yang pernah saya dapatkan di Psikologi UNDIP (FYI. dulu saya pernah kuliah setahun di Psikologi UNDIP sebelum memutuskan untuk ikut SNMPTN lagi dan pindah ke Teknik Kimia UNS). Menurut Gus Van Sant, judul Elephant ini diambil dari idiom “Elephant in the Room.” Menurut Wikipedia, idiom ini bermakna sebagai sesuatu yang sangat penting yang seringkali terabaikan (sengaja atau tidak), karena umumnya orang lebih mementingkan isu-isu yang lebih kecil dan cenderung tidak terlalu relevan. Hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan Susan Klebold dalam esainya. Sesuai dengan judulnya, “I will never know why,” esai tersebut kurang lebih berisi tentang sisi yang terabaikan (tidak tertangkap) oleh Susan Klebold tentang kenapa putranya bisa melakukan tindakan keji seperti itu.

Di dalam esainya Susan Klebold menulis:

“Yes, he had filled notebook pages with his private thoughts and feelings, repeatedly expressing profound alienation. But we'd never seen those notebooks. And yes, he'd written a school paper about a man in a black trenchcoat who brutally murders nine students. But we'd never seen that paper.”

Lalu beberapa paragraf selanjutnya:

“Still, Dylan's participation in the massacre was impossible for me to accept until I began to connect it to his own death. Once I saw his journals, it was clear to me that Dylan entered the school with the intention of dying there. And so, in order to understand what he might have been thinking, I started to learn all I could about suicide.”

Saya rasa itu lah yang ingin disampaikan Gus Van Sant dalam Elephant (sesuai dengan judulnya). Alex (Alex Frost) dan Eric (Eric Deulen), dan tindakan mereka, dalam Elephant adalah perwujudan dari “elephant in the room.” Di awal-awal Gus Van Sant menunjukkan kegiatan normal beberapa siswa sampai akhirnya, tanpa memperingati penonton terlibih dahulu, dua dari mereka melakukan pembantaian di sekolah. Gus Van Sant jelas tidak bermain dengan metoda “sebab-akibat” yang seringkali digunakan Hollywood dalam film-film kriminal seperti ini. Dibantu dengan kekuatan artistik film ini, Gus Van Sant hanya menampilkan “akibat” (saya lebih suka menyebutnya “efek”) tampa benar-benar memberikan “motif” yang jelas. Tindakan ekstrim bisa terjadi kapan saja di mana saja dan seringnya tanpa kita sadari tanda-tandanya, bukan?

http://2.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/TOp4TIUJWDI/AAAAAAAABmQ/uMtLzakuMF4/s1600/Kinema.jpg

Motif (“sebab”) adalah salah satu hal yang menarik dari Elephant, terutama karena film ini sendiri sama sekali tidak memberikan motif yang kuat atas pembantaian tersebut. Bisa saja dikatakan Alex melakukan pembantaian karena bullying yang dirasakannya di sekolah, seperti yang ditunjukkan di salah satu adegan ketika Alex dilempari (semacam) permen karet secara diam-diam di dalam kelas. Atau, ada sebuah adegan ketika Alex dan Eric menunjukkan ketertarikan pada Adolf Hitler, bisa saja ini menunjukkan sisi psikologis, ketidaksesuaian nilai sosial, dan minimnya empati dari kedua tokoh tersebut. Dua poin tersebut cukup sesuai dengan kasus yang jadi inspirasi film ini. Berbagai debat seputar motif Dylan dan Eric dalam kasus pembantaian Columbine High School sudah dilakukan, dan pada kasus ini, sayangnya, tidak bisa ditarik kesimpulan yang benar-benar tepat. Simpelnya karena kedua pelaku melakukan aksi bunuh diri di akhir pembantaian. Motif-motif yang jadi kemungkinan antara lain: iklim sosial sekolah, bullying, goth subculture, perwujudan Neo-Nazi, kemungkinan psikopatologis, hingga musik (pop culture).

Sama seperti kasus sebenarnya, Elephant tidak benar-benar menegaskan salah satu atau keduanya sebagai motif. Sebagian besar yang diperlihatkan dalam Elephant hanyalah “sebab,” atau efek, dari kompetisi postmodern dalam wadah sekolahan. Bicara tentang kompetisi postmodern sekolahan, tentu saya harus menelaah ulang kembali tiap-tiap tokoh yang dihadirkan dalam Elephant–karena tokoh-tokoh tersebut bisa saja ditujukan (atau diartikan) sebagai perwakilan dari kode-kode sosial yang ada. Kompetisi sosial di sekolahan ini bahkan sudah hadir sebagai sebuah paradoks yang tidak dapat dinegosiasi lagi. Ada siswa yang mampu selamat dari kompetisi ini (sebut saja: Elias, Nathan, John, dan Carrie), ada juga siswa yang sayangnya tidak mampu selamat dari kompetisi ini (sebut saja: Alex, Eric, dan Michelle).

Kompetisi ini bisa berdampak macam-macam, baik bagi pemenang maupun yang kalah. Dampak tersebut bisa berupa kebosanan sosial, kegelisahan sosial, hingga anarkisme. Dari tokoh Michelle saya mendapatkan efek berupa kegelisahan. Sedangkan dari Elias, si fotografer, saya menangkap dampak kebosanan. Ada Acadia, gadis yang merupakan anggota Gay-Straight Alliance. Ingat, orientasi seksual (subkultur LGBT) juga merupakan bagian dari kompetisi. Di awal film, ada adegan Elias memotret dua pasangan punk. Dalam kasus ini, punk bisa diartikan sebagai sebuah subkultur, bisa juga diartikan dari sisi fashion–karena fashion juga merupakan poin dalam kompetisi tersebut, dan punk bisa dijadikan salah satu cara untuk selamat. Dan bicara soal fashion sebagai bagian dari kompetisi, tiga gossip girl (Brittany, Jordan, dan Nicole) bisa dijadikan sebagai simbolismenya. Brittanny, Jordan, dan Nicole, ketiganya menggosip, mengumpat, dan diakhiri dengan adegan bulimia di toilet sekolah–hal tersebut merupakan upaya untuk bertahan dalam kompetisi postmodern di sekolahan tersebut. Nathan dan Carrie, dua pasangan sempurna di film ini, adalah wujud dari pemenang nyata kompetisi. Ketika Nathan melintasi ketiga gossip girl, salah satu dari mereka berseru, “He's so cute!” Lalu salah satu berkomentar, “Did she see you?” (ditujukan pada Carrie, paca Nathan), lalu dilanjutkan, “She hit a girl last time for that.” Hal tersebut menegaskan kompetisi postmodern tersebut. Dari sisi Nathan, menjadi pemenang ternyata bisa juga menimbulkan efek kebosanan. Sebagai bayarannya, tidak heran para atlit, siswa-siswa populer, top, dan terkenal seringkali melakukan bullying (sebagai pelarian dari kebosanan).

Motif yang dilakukan Leopold dan Loeb, mahasiswa yang melakukan pembunuhan hanya untuk membuktikan bahwa mereka mampu melakukan “the perfect crime,” bisa saja diartikan sebagai efek anarkis dari kebosanan. Dan untuk kasus Alex dan Eric, pelaku pembantaian dalam film ini, apa saja bisa dijadikan motif: kebosanan sosial ataupun kegelisahan sosial. Kegelisahan bisa diambil sebagai alasan mengingat tindakan bullying yang dirasakan Alex. Dan kebosanan pun bisa dijadikan sudut pandang lain melihat gambaran kegiatan sehari-hari yang dilakukan Alex dan Eric. Lagi-lagi, Gus Van Sant tidak benar-benar menegaskan yang mana yang paling berpengaruh. Yang benar-benar pasti, hasil akhirnya adalah sebuah tanggapan anarkis yang datang dari Alex dan Eric.

*Absolutely one of my favorite school-set-movie.

http://3.bp.blogspot.com/-QGA-QkdIoTs/TWvGq9uGtoI/AAAAAAAACM0/TsDlRMUCbMg/s1600/A%252B.bmp

Popular posts from this blog

Nine

A Nightmare on Elm Street

BUtterfield 8