Scott Pilgrim vs. the World

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Edgar Wright
Pemain: Michael Cera, Mary Elizabeth Winstead, Kieran Culkin, Ellen Wong, Alison Pill, Mark Webber, Johnny Simmons, Anna Kendrick, Brie Larson, Erik Knudsen, Aubrey Plaza, Satya Bhabha, Chris Evans, Brandon Routh, Mae Whitman, Shota Saito, Keita Saito, Jason Schwartzman

Tahun Rilis: 2010

Diangkat dari komik Scott Pilgrim karya Bryan Lee O'Malley.

Salah seorang teman Facebook saya melabeli Scott Pilgrim vs. the World sebagai film “either you'll hate it or you'll love it.” Saya rasa saya sangat mengerti alasannya. Saya tidak akan memberi Scott Pilgrim label jelak, tidak juga terbilang benar-benar bagus. Yang jelas sekali kelihatan, film ini membutuhkan nyali. Bahkan mengadaptasi sebuah komik (atau novel grafis) Scott Pilgrim sendiri sudah membutuhkan nyali, apalagi mengeksekusinya dengan cara seperti ini.

Tokoh utama film ini, Scott Pilgrim, diperankan oleh Michael Cera, dengan penampilan yang Michael Cera banget (walaupun begitu, saya akui ini peran yang paling unik dari Michael Cera sampai saat ini). Scott Pilgrim merupakan remaja mood-mood-an (cenderung pemalas), bermata sayu, lugu, berambut lepek, berusaia 22 tahun, mengencani seorang gadis Cina yang masih 17 tahun, mempunyai adik perempuan penggila gosip dan skandal, sekamar dan seranjang dengan seorang gay (tapi anehnya tidak terjadi “apa-apa” setiap malam), dan merupakan gitaris (atau basis, whatever you named it) sebuah band yang namanya Sex Bob-omb. Sulit menyatakan apakah hidup Scott Pilgrim ini termasuk normal, waras, menyedihkan, keren, hebat, biasa saja, atau apalah itu, tergantung Anda dan siapakah Anda.

Suatu hari, Scott Pilgrim terpana akan kecantikan seorang gadis berambut biru, Ramona Flowers (Mary Elizabeth Winstead), seorang kurir Amazon.com yang hobi menggonta-ganti warna rambutnya setiap satu setengah minggu sekali. Yang saya jabarkan di atas tersebut bukanlah sinopsis, melainkan garis besar dua tokoh utama film ini, kalau Anda ingin sinopsis:

“Scott Pilgrim jatuh cinta pada Ramona Flowers, untuk berkencan dengannya, Scott harus mengalahkan tujuh mantan pacarnya. Selesai –”

http://4.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/TQrxGkRdfGI/AAAAAAAABy4/Y5qqWWvb-x8/s1600/Kinema.jpg

Cerita yang sangat-sangat simpel. Tapi justru bukan ke-simpel-annya yang jadi permasalahan, terutama kalau Anda tipikal penonton hardcore, melainkan kelogisannya. Kenapa Scott harus melawan tujuh mantan-mantan Ramona? Atau tepatnya, kenapa mantan-mantan Ramona, termasuk juga mantannya ketika kelas tujuh sekolah dasar, mau mati-matian bertarung dengan Scott–pacar Ramona sekarang? Kenapa mantannya Ramona yang sudah berpacaran dengan mantannya Scott masih mau menantang Ramona? Atas dasar apa? Atas alasan apa? Sekeras apapun Anda berpikir, tidak akan ada penjelasan intelektual dari plot tersebut.

Tapi film ini memang bukan film intelektual. Ini bukan film bermuatan budaya, politik, perang, kemiskinan, kelaparan, atau kemanusiaan. Bukan. Ini tipikal film anak-anak muda. Film-film komik (dalam artian benar-benar buku komik). Sudah bisa ditebak sebagian besar durasi film adalah adegan-adegan pertaruan antara Scott Pilgrim dengan mantan-mantannya Ramona. Dan pertarungan ini dihadirkan se-manga dan se-video-game mungkin. Ditandai dengan tulisan-tulisan “vs,” “Level up!,” “whoosh,” “KROOWW,” dan lain-lain, yang memang sudah jadi ciri khas manga. Ditambah juga teknik-teknik slow motion dan multiple split screen yang melengkapi bau-bau manga-nya. Dan ada juga unsur di mana petarung yang kalah akan meledak menjadi koin yang saya rasa terinspirasi dari videogame-videogame. Ini lah yang disuguhkan Edgar Wright, sutradara Hot Fuzz dan Shaun of the Dead.

Kalaupun banyak yang mentamengkan surealisme dan simbolisme atas kedangkalan logika di film ini, jelas hal tersebut tidak terlalu valid. Surealisme, memang. Abstrak, memang. Di film-film surealisme sekalipun, tentu harus ada hal-hal yang bisa direlasikan secara kuat dengan kenyataan. Simbolisme sub-kultur hipster? Simbolisme kultur pop? Entahlah, saya tidak terlalu menangkap bau-bau yang sangat kuat dari hal tersebut. Yang saya tangkap, film ini lebih berupa showoff-eksperimental dari unsur-unsur komik, manga, dan beberapa kultur pop lainnya.

Kalau Anda penggila Naruto, penggila manga, penggila komik DC dan Marvel, menganggap Kick-Ass adalah sebuah maha karya, tidak menyukai film-film jebolan Oscar dan Cannes, lebih menyukai film-filmnya Michael Bay ketimbang Ken Loach, masih muda, sudah tua tapi tetap berjiwa muda, mungkin Anda bakal menikmati film ini. Kalau Anda tipikal penonton berpikir, berlogika, menggebu-gebukan film-film arthouse dan festival, masih muda tapi berpikiran lebih dewasa, atau sudah tua dan merasa tua, mungkin Anda tidak akan terlalu menyukai film ini.



Popular posts from this blog

Nine

A Nightmare on Elm Street

BUtterfield 8