La princesse de Montpensier

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Bertrand Tavernier
Pemain: Mélanie Thierry, Gaspard Ulliel, Grégoire Leprince-Ringuet, Lambert Wilson, Raphaël Personnaz, Michel Vuillermoz, Anatole De Bodinat, Eric Rulliat, Samuel Théis, Judith Chemla, Philippe Magnan, César Domboy, Jean-Pol Dubois, Florence Thomassin

Tahun Rilis: 2010
Judul Internasional: The Princess of Montpensier

Darama periodik yang kali ini diangkat dari cerita pendek karya Madame de La Fayatte, penulis perempuan Perancis abad ke-16 (kira-kira seabad lebih tua lagi daripada Jane Austen). Seperti kebanyakan kisah dari abad itu, The Princess of Montpensier tak akan jauh-jauh dari urusan asmara dan perjodohan.

Namun jangan salah sangka dengan kulit luarnya yang berlabel roman tersebab berurusan tentang percintaan, The Princess of Montpensier lebih dari itu. Film ini melangkah jauh dari ranah opera sabun murahan. Dari kulit teknis, tentunya, drama periodik Perancis ini terbilang memanjakan mata dengan gaun-gaun tersibak, riasan abad pertengahan, dentang-denting pedang, hingga eksplorasi dari lanskap luar sampai sudut ruang sempit. Tak hanya rentetan renda di gaun dan tumpukan riasan, untuk ukuran drama periodik masa kini, film ini punya level ketajaman tersendiri untuk memampangkan kehidupan di kastil abad pertengahan; perabotan, taman, sampai detil-detil dinding ruang.

Meskipun film ini berlatar Perancis di masa perang antara umat Katolik dan kaum Protestan, perang utamanya justru berkutat pada persoalan seksualitas dan gender abad pertengahan. Tatkala di luar sana begitu banyak umat jelata terbantai, Marie de Mézières (Mélanie Thierry) justru dihadang dilema antara hasrat dan kewajiban. Bapaknya, yang tak melahirkannya dengan gelar putri, meminangkannya pada seorang pangeran: Prince de Montpensier (Grégoire Leprince-Ringuet). Tiada hak suara, tanpa pilihan, Marie memilih menjalankan kewajabannya sebagai anak yang patuh, meninggalkan kekasih hatinya, Henry de Guise (Gaspard Ulliel).

http://2.bp.blogspot.com/-Fy0ugL6JNJE/TiHA3eFNUSI/AAAAAAAACe8/xBfwzDN6xJM/s1600/Kinema.jpg

Sepertinya tak gampang bagi Marie untuk menekan jauh-jauh hasratnya demi kewajiban seorang istri tersebab kualitasnya (juga kelemahannya) sebagai perempuan. Suaminya, yang sebetulnya pemalu dan penyayang tapi cemburuan, lebih sering menghunus pedang di medang perang ketimbang menemaninya di rumah. Kala itu Marie malah ditemani seorang guru bijak (yang juga guru suaminya), Count de Chabannes (Lambert Wilson), yang diam-diam turut terjerat pesonanya. Marie membatasi hubungan dekat mereka hanya sejarak guru dan murid. Bukan itu saja, Duke d'Anjou (Raphaël Personnaz), penerus tahta Polandia (yang jelas kedudukannya lebih tinggi dari suami Marie, yang akan dijodohkan dengan Ratu Elizabeth, yang juga paling kharismatik di antara lelaki lainnya) turut pula menaruh hati, meski ditunjukkan dengan cara pria terhormat.

Setidaknya ada empat pria yang terjerat pesona Marie (lima kalau adik Henry, yang sekedar figuran, terbilang terhitung). Tiga tampan nan rupawan. Dua di antaranya bangsawan. Satu terakhir, meski sudah baya dan bukan siapa-siapa, paling bijaknya. Pastilah langsar sekali si Marie ini. Celakanya malah sebaliknya. Menjadi seorang putri istana itu tak seindah dalam cerita. Keempat lelaki itu jelas mengagumi Marie dengan cara dan level masing-masing; dua diantaranya menunjukkan rasa hormat dengan cara sendiri-sendiri, yang satu menampilkan dengan cara menggebu-gebu, dan yang satu lagi dengan perlindungan berlebihan. Namun ketiganya tak pernah memberikan Marie suara. Marie, secara tak langsung, tak lebih dari komoditas gairah para pria.

Ya, lucunya, film yang bersumber dari literatur kuno, berkisah perjodohan abad pertengahan ini, tak lantas ketinggalan zaman untuk urusan argumen-argumennya. Persoalan yang dihadapi Marie tiada bedanya dengan persoalan perempuan masa kini. Masih banyak perempuan yang masih diposisikan sebagai komoditi; entah di rumah tangga, entah di rumah bordil, entah secara terhormat, entah secara sundal. (Kalau tak begitu, tak akan lahir istilah feminisme.) Kalaupun Marie berhasil menyedot simpat, pastilah bukan semata-mata karena perjodohannya, bukan pula sekedar karena empat pria yang terus-terusan menekannya, melainkan karena posisinya itu yang tak lebih dari komoditas adanya. Nilai-nilai sosial dan kultural yang menempatkannya.

http://4.bp.blogspot.com/-D-ZOpnv6A0k/TWvEpobA-3I/AAAAAAAACMM/lzr7yxkvvb0/s1600/A-.bmp

Popular posts from this blog

Nine

A Nightmare on Elm Street

BUtterfield 8