Ma nuit chez Maud

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Éric Rohmer
Pemain:
Jean-Louis Trintignant, Françoise Fabian, Marie-Christine Barrault,Antoine Vitez, Léonide Kogan, Guy Léger, Anne Dubot, Marie Becker, Marie-Claude Rauzier

Tahun Rilis: 1969
Judul Internasional: My Night at Maud's

Film ini merupakan film ketiga dari Contes moraux (Six Moral Tales) karya Éric Rohmer.


Adalah sebuah pemikiran yang salah bila menganggap film yang terlalu banyak dialog adalah sesuatu yang buruk, Abbas Kiarostami serta Ethan Hawke dan Julie Delpy sudah membuktikannya. Dalam film ketiga dari Six Moral Tales ini, Éric Rohmer lebih bertopang pada dialog ketimbang narasi voice over seperti pada kedua film sebelumnya. Dalam My Night at Maud's, Éric Rohmer memanfaatkan dialog seefektif mungkin, sehingga dialog di film ini sama pentingnya dengan perbuatan-perbuatan fisik yang dilakukan tokohnya.

Mereka yang sudah menonton dua film sebelumnya dari Six Moral Tales mungkin dengan gampang bakal beranggapan kalau My Night at Maud's mengusung tema yang serupa. Malahan, film ini terkesan seperti sebuah pengembangan dari film sebelumnya (lebih ke arah The Bakery Girl of Monceau daripada Suzzane's Career). Film ketiga ini juga bercerita tentang boy meets girl, boy meets another girl, and boy made a choice between those girls. Mungkin lebih tepat disebut man ketimbang boy (dan woman ketimbang girl). Film ini juga menhdirkan tokoh utama seorang pria tanpa nama (Jean-Louis Trintignant) yang bisa dibilang variasi dari dua tokog utama di film sebelumnya. Pria ini seorang insinyur. Pria ini punya idealisme dan prinsip yang kuat, skeptis, dan dihadapkan pada situasi pelik di mana semua prinsipnya tersebut bakal diuji. Sekali lagi, Éric Rohmer memberikan tontonan di mana situasi memermainkan prinsip tokoh utamanya: dengan menunjukkan perbedaan antara apa yang si pria ucapkan dan apa yang si pria lakukan. Sekalipun inti dari My Night at Maud's merupakan pengulangan dari dua film pendahulunya, Éric Rohmer tidak pernah membosankan dalam menceritakannya.

Di sebuah misa di suatu gereja, si pria melihat seorang wanita cantik berambut pirang (Marie-Christine Barrault), yang langsung menarik perhatiannya. Si pria ini membuntuti wanita itu, dalam sebuah narasi voice over, si pria berkata, “That Monday, December 21st, I suddenly knew, without a doubt, that Françoise would be my wife.” Narasi tersebut menandakan bahwa cerita di film ini adalah kisah lampau, sama halnya dengan dua film pendahulunya.

Marksisme, Kristianisme, dan Maud

Selanjutnya, ketimbang bertemu lagi dengan Françoise, si pria ini malah bertemu dengan teman lamanya, Vidal (Antoine Vitez), seorang profesor filsafat, seorang penganut Marksisme, dan, menilai dari dialog dan caranya berbicara, seorang pria yang lebih pandai perihal perempuan ketimbang si tokoh utama. Pertemuan keduanya berakhir dengan sebuah diskusi soal teori probabilitas Pascal. Percakapan yang berat untuk diikuti, memang. Tapi bukan inti percakapan mereka yang jadi inti persoalan, melainkan diri mereka lah dan apa posisi mereka dalam permasalahan tersebut: si pria membahas probabilitas dari sisi matematik, sementara Vidal memandang dari sisi filosofis, si pria penganut Kristen, sementara Vidal penganut Markisme; dan pada adegan-adegan selanjutnya bakal diketahui keduanya mempunyai pandangan yang berbeda soal wanita dan percintaan (jelas tokoh utama ini lebih penyendiri ketimbang Vidal). Ingat, Marksisme tergolong ajaran terlarang di Indonesia tidak lain karena kritik-kritiknya yang dinilai anti-agama.

Singkat cerita, pada malam Natal, Vidal mengundang temannya itu ke kediaman seorang janda, Maud (Françoise Fabian), yang diakui sebagai teman dekatnya. Alasan (pura-pura) Vidal mengundang si pria adalah karena dia takut bakal berakahir di ranjang bersama Maud bila hanya ada mereka berdua. Di kediaman Maud ini, percakapan-percakapan intelektual pun bergulir lagi, tapi lebih ke arah seputar prinsip Kristianisme si pria. Di sini lah letak kesempurnaan My Night at Maud's besutan Éric Rohmer. Film ini punya setting yang tepat, dengan tokoh dan karakter yang tepat, dialog yang tepat, dan pada kondisi dan situasi yang tepat pula. Bayangkan: si pria seorang penganut Kristen, Vidal seorang penganut Marksisme, dan disempurnakan dengan kehadiran Maud seorang janda yang bukan Kristen dan bukan pula Marksisme. Dan di kediaman Maud ini, situasi pun serasa berputar-putar bagi si pria.

Sebuah Telaah tentang Pilihan

Banyak informasi tentang tokoh utama yang bisa didapatkan dari dialog tersebut, salah satunya adalah kenyataan bahwa si pria ini dulunya juga termasuk pria yang gonta-ganti pacar, dan kemudian tobat ketika mendalami Kristen. Bisa diketahui juga kalau pria ini termasuk pria-pria berpikiran sempit: dia hanya mau menikahi seorang wanita Kristen (malah, dia hanya mau menikahi gadis pirang yang dilihatnya di gereja) dan dia menyatakan ketidaksetujuannya (dengan cara halus) tentang perceraian. Terlihat cukup jelas juga kalau hampir di sepanjang itu kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya cukup ketus terhadap Maud. Dan Maud, seorang wanita yang berpikir simpel dan terbuka, justru malah terlihat makin menggali si pria. Sampai di klimaksnya, Vidal pergi, dan si pria ditinggal berdua bersama Maud. Mulanya si pria menolak ajakan tidur di samping Maud, dan memutuskan untuk tidur di atas sofa, atas nama prinsipnya. Namun, akhirnya si pria memutuskan untuk tidur di samping Maud, dengan jaminan Maud tidak akan menyenyuhnya. Dan pagi harinya, pergulatan pun terjadi. Sayangnya si pria memutuskan untuk berhenti di tengah ronde, dan berakhir dengan kalimat, “I prefer people who know what they want,” dari mulut Maud.

Dari sini (yang sebenarnya baru sampai pertengahan film) sudah bisa dilihat kalau My Night at Maud's menyentuh cukup banyak aspek, tidak hanya Kristen vs Marksisme, perkataan vs perbuatan, dan prinsip vs kesenangan tanpa batas (teori probabilitas Pascal), tapi juga menyentuh prinsip penting soal pilihan. Bedanya dengan dua film pendahulunya, pilihan dibahas lebih mendalam di film ini. Kalau mau dilihat dari permukaan, My Night at Maud's adalah film tentang seorang pria yang menolak kesenangan bersama Maud (wanita yang lebih bebas) karena lebih memilih Françoise (wanita yang lebih kaku dan klasik), atas dasar prinspinya.

Sejauh yang saya tahu, inti dari teori Pascal's Wager adalah sesorang harus berani “berjudi” (mengambil risiko) atas kemungkinan takdir Tuhan. Salah satu dari enam Pascal's Wager berbunyi, “Ada sebuah kebahagian infinit (tidak terhitung) yang bisa diraih, sebuah kemungkinan yang bisa didapat melewan beberapa kemungkinan kalah yang finit (terhitung).” Kalau dikondisikan pada Pascal's Wager, situasi yang dihadai si pria kira-kira: Maud mewakili prinsip Pascal (yang tidak sesuai dengan prinsip Kristianisme si pria) dan Françoise mewakili prinsip Kristianisme si pria. Ada perbandingan antara pilihan berisiko (alternatif) dan pilihan idealis (yang nyaris tidak berisiko).

Pada akhirnya, Éric Rohmer tidak hanya sekedar membahas pilihan dan risiko dalam pilihan, dari endingnya (yang tidak akan saya bocorkan), terdapat kilasan tentang betapa pentingnya suatu pilihan dan betapa menyakitkannya suatu pilihan. My Night at Maud's, bagi saya, adalah film yang paling berhasil membiaskan dua aspek kehidupan yang berlawanan itu.

http://3.bp.blogspot.com/-QGA-QkdIoTs/TWvGq9uGtoI/AAAAAAAACM0/TsDlRMUCbMg/s1600/A%252B.bmp

Popular posts from this blog

ReReview: THE TREE OF LIFE

Donlot Film Pacar Hantu Perawan Versi Hot gak atek sensor

Nine